Latar Belakang Gerakan 30 September PKI (G30s PKI)
![]() |
Gerakan
30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu
(Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam
pejabat tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang
disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Par Komunis
Indonesia
Latar belakang
PKI
merupakan par Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok
dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta
dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh
yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani
Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), Organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada
bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi
di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI.
Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.
Pada
era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum
buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi
yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, Inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Pada
kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai
menjanjikan untuk mempersenja 40 batalion tentara secara lengkap,
penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno
tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada
awal tahun 1965 Bung Karno mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang
berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Pandangan lain mengatakan bahwa
PKI-lah yang mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima tersebut dan
mempersenja mereka. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal
ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara Aktivis massanya
dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan
bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan
"Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan
bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk
membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di
akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas
tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah
berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua
pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur
lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet
dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer
tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya
bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi
demokratis "rakyat".
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di
mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang
bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim
Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang
aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena
industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan
rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di
dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri
sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang
makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI
bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan Aspirasi revolusioner
kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
memecilkan Aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak
tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit
parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan
kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio,
Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini
bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU
Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada
tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil
pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan
par politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun
pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena
UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing Aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi
di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai aksi
sepihak dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya.
Sementara
itu di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dan NU. Kiai-kiai
NU yang kebanyakan tuan tanah menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan
tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah.
Faktor Malaysia
Negara
Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden
Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan
juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.
Gerakan 30 September
Sejak
demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran
menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman Perdana Menteri
Malaysia saat itu dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno
terhadap Malaysia pun meledak.
Gerakan 30 September
Soekarno
yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia[rujukan?] dan ingin melakukan balas dendam
dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang
Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina
Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan
Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para
jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin
melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara
Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala
tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H.
Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di
percaturan politik di Indonesia.
Posisi
Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka
tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka
akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang.
Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah
hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh
hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[2]. Hal ini juga
dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal
tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui
bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada
Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di autobiografinya, mengakui
bahwa ia adalah seorang yang memiliki Harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Gerakan 30 September
Soekarno
adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin
yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjin dirinja
sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun
djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Gerakan 30 September
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai Antek Inggris,
antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan
mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.
Pada
saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin
menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI
dengan Par Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros
Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui
hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin
meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena
posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak
keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat
(CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan
sebuah percakapan san Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia
masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh
karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba."[rujukan?] Soekarno berkata,
"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ...
Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan
PKI, tetapi tidak sekarang."[rujukan?]
Dari
pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat
ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal
serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap
misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan
orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para
jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan
berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas
memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan
walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi
Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah
yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam
konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah
satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini
tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke
Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya
untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan
hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden
Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada
tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis
Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober
masih terjadi kebingungan atas pembanan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan
lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa
Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar
Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk
dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki
banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi
masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan
dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak
sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi
yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat
kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan
kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa
yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang,
umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi
lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor
ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan
keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI
dan pembanan orang-orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta
tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Sumur Lubang Buaya
Sumur Lubang Buaya
Pada
30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada
saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya
Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan
Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk
menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum
yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan
Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia
Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan
Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai
pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari
KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang
mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat[3]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas
intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai
sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The
Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan Basis skenario
film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data yang
ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan
berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga
saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi
penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah
pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada
jaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat
tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
* Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
* Mayjen TNI R. Suprapto
* Mayjen TNI M.T. Haryono
* Mayjen TNI S. Parman
* Brigjen TNI D.I. Panjaitan
* Brigjen TNI S. Siswomiharjo
Jenderal
TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia
selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan Ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
- * AIP Karel Satsuit Tubun* Brigjen Katamso Darmokusumo* Kolonel Sugiono
Para
korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.
Pasca kejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit
menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan
berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan.
Pada
tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para
korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral
PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa
untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan
bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada
tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan
kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada
tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat
presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[4]:
Gerakan 30 September
Saya
perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri
diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang
sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan
daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi,
dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri
benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.
Soeharto,
sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku,
saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan
sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta
engkau!
Gerakan 30 September
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di
Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan
segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi
terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara
lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika
Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner
apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan
pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri
Indonesia."
Penangkapan dan pembunuhan
Penangkapan Simpatisan PKI
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam
bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI,
atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua par
kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia
yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa
dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang diban tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain
menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu
juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta
itu.
Dihasut
dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan
Tameng Maharneis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di
dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat
tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada
akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan
sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1]
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembanan keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat
menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana
udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang
benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius."
Di
pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit
35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin,
pasukan komando elite Par Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh
dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka
rumah mereka yang sudah hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman
mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar
pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja
dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes
atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih
dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta
itu.
Supersemar
Artikel utama: Supersemar
Lima
bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto
untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret
1967.
Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh
oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh
Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Peringatan
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah
kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya
sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh
stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September.
Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur
bunga di makam par apahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era
Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya
tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada
29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan
untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan
jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni
Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini
berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain
civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para
korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo
Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Kontroversi
Beberapa informasi dalam artikel atau bagian ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak benar.
Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber pada bagian yang diperlukan.
Peristiwa
ini sampai sekarang masih diliputi banyak misteri. Banyak pertanyaan
yang tertinggal, misalnya dugaan bahwa pemberontakan ini mungkin sengaja
diciptakan Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Juga, ada
teori bahwa Soekarno yang melancarkan pembunuhan karena ingin agar
kekuasaannya dapat terus berlangsung dan tidak diancam oleh para
jenderal angkatan darat.Tetapi,ada juga teori yang mengatakan bahwa CIA
berusaha menggulingkan PKI dan Sukarno karena dianggap memihak
komunis.CIA di bantu oleh Soeharto yang memiliki sejumlah "dendam" pada
pemerintahan Sukarno membuat G-30-S,menuding PKI sebagai dalang,dan
menumpasnya.
Cerita lainnya
Gerakan
Wanita Indonesia atau Gerwani adalah organisasi wanita yang aktif di
Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an. Kelompok ini memiliki hubungan
yang kuat dengan Par Komunis Indonesia, namun sebenarnya merupakan
organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan
feminisme.
Gerwani
dianggap oleh Orde Baru sebagai salah satu organisasi yang terlibat
dalam peristiwa Gerakan 30 September, dan dalam film Pengkhianatan G 30
S/PKI karya Arifin C Noer digambarkan menyiksa jendral-jendral yang
ditangkap sebelum mereka dibunuh di Lubang Buaya. Selain itu juga
digambarkan adegan-adegan di mana anggota-anggota Gerwani menari
telanjang, memotong alat kelamin tawanan mereka dan melakukan perbuatan
amoral lainnya. Sebagian besar ahli sejarah sepakat bahwa
tuduhan-tuduhan ini palsu.
Setelah
Soeharto menjadi presiden, Gerwani dilarang keberadaannya dan banyak
anggotanya diperkosa dan dibunuh, seperti halnya banyak orang lain yang
dicurigai sebagai anggota PKI.
Dipa
Nusantara Aidit, lebih dikenal dengan DN Aidit (30 Juli 1923 - 22
November 1965), adalah Ketua Central Comitte Par Komunis Indonesia
(CC-PKI). Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Pulau Bangka, dan
dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Di masa
kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit,
ikut serta memimpin gerakan pemuda diBelitung dalam
melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi
anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga
pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang
berorientasi kepada Muhammadiyah
DN Aidit
Terlibat dalam politik
Menjelang
dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia
memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.
Dari Belitung, Aidit Berangkat ke
Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah
Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang
("Handelsschool". Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan
Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang
belakangan berganti nama menjadi Par Komunis Indonesia). Dalam
aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang
yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti
Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad
Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan
dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan
Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi
politiknya.
Meskipun
ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit
mengikuti paham Marhaenisme Sukarno [1] dan membiarkan parnya berkembang
tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai balasan
atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi menjadi Sekjen
PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi par
komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRT. Ia
mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat,
seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan
lain-lain.
Dalam
kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut
dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di
Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari
unsur-unsur konservatif di antara par-par politik Islam dan militer.
Peristiwa G-30-S
Pada
1965, PKI menjadi par politik terbesar di Indonesia, dan menjadi
semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai
di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan
seorang kapten. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.
Pemerintah
Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa
PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan par, Aidit dituduh sebagai
dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit
meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke
Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.
Ada
beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini. Menurut versi pertama,
Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah Batalyon Kostrad
ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh
berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum
"diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato
yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang
mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka.
Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain
mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia
ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana
jenazahnya dimakamkan.
Tulisan DN Aidit
DN Aidit banyak menuliskan pikiran-pikirannya dalam sejumlah buku dan tulisan. Sebagian daripadanya adalah:
- * Sedjarah gerakan buruh Indonesia, dari tahun 1905 sampai tahun 1926 (1952)* Perdjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1952)* Menempuh djalan rakjat: pidato untuk memperingati ulangtahun PKI jang ke-32 - 23 Mei 1952 (1954)* Tentang Tan Ling Djie-isme: referat jang disampaikan pada kongres nasional ke-V PKI (1954)* Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret 1954 (1955) / bahasa Inggris: The road to people's democracy for Indonesia (1955)* Untuk kemenangan front nasional dalam pemilihan umum, dan kewadjiban mengembangkan kritik serta meninggikan tingkat ideologi Par: Pidato dimuka sidang pleno Central Comite ke-3 PKI pada tanggal 7 Agustus 1955 (1955)* Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, perdamaian dan demokrasi sesudah pemilihan parlemen (1955)* Menudju Indonesia baru: Pidato untuk memperingati ulang-tahun PKI jang ke-33 (1955)* Perjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1955)* Revolusi Oktober dan rakjat2 Timur (1957)* 37 tahun Par Komunis Indonesia (1957)* Masjarakat Indonesia dan revolusi Indonesia: (soal pokok revolusi Indonesia) (1958)* Sendjata ditangan rakjat (1958)* Kalahkan konsepsi politik Amerika Serikat (1958)* Visit to five socialist states: talk by D.N. Aidit at the Sports Hall in Djakarta on 19th September (1958)* Konfrontasi peristiwa Madiun (1948) - Peristiwa Sumatera (1956) (1958)* Ilmu pengetahuan
0 komentar:
Posting Komentar